Serat Wedhatama terdiri dari empat pupuh yakni; pangkur,
sinom, gambuh, dan kinanthi.
83
|
Padahal bekal hidup,
selamanya waspada dan ingat,
Ingat akan pertanda yang ada
di alam ini,
Menjadi kekuatannya
asal-usul, supaya lepas dari sengsara.
Begitulah memelihara hidup.
|
84
|
Maka rajinlah anak-anakku,
Belajar menajamkan hati,
Siang malam berusaha,
merasuk ke dalam sanubari,
melenyapkan nafsu pribadi,
Agar menjadi (manusia) utama.
|
85
|
Mengasahnya di alam sepi
(semedi),
Jangan berhenti selamanya,
Apabila sudah kelihatan,
tajamnya luar biasa,
mampu mengiris gunung
penghalang,
Lenyap semua penghalang budi.
|
86
|
Awas itu artinya,
tahu penghalang kehidupan,
serta kekuasaan yang tunggal,
yang bersatu siang malam,
Yang mengabulkan segala
kehendak,
terhampar alam semesta.
|
87
|
Hati jangan lengah,
Waspadailah kata-katamu,
Di situ tentu terasa,
bukan ucapan pribadi,
Maka tanggungjawablah,
perhatikan semuanya sampai tuntas.
|
88
|
Sirnakan keraguan hati,
waspadalah terhadap
pandanganmu,
Itulah caranya berhasil,
Kurangilah sedikit demi
sedikit godaan hawa nafsu,
Latihlah agar terlatih.
|
89
|
Jangan terbiasa berbuat aib,
Tiada guna tiada hasil,
terjerat oleh aral,
Maka berhati-hatilah,
Hidup ini banyak rintangan,
Godaan harus dicermati.
|
90
|
Seumpama orang berjalan,
Jalan berbahaya dilalui,
Apabila kurang perhitungan,
Tentulah tertusuk duri,
celakanya terantuk batu,
Akhirnya penuh luka.
|
91
|
Lumrahnya jika seperti itu,
Berobat setelah terluka,
Biarpun punya ilmu segudang,
bila tak sesuai tujuannya,
ilmunya hanya dipakai mencari
nafkah dan pamrih.
|
92
|
Baru kelihatan jika
keinginannya muluk-muluk,
Muluk-muluk bicaranya seperti
wali,
Berkali-kali tak terbukti,
merasa diri pandita istimewa,
Kelebihannya tak ada,
Semua bukti sepi.
|
93
|
Ilmunya sebatas mulut,
Kata-katanya di gaib-gaibkan,
Dibantah sedikit saja tidak
mau,
mata membelalak alisnya
menjadi satu,
Apakah yang seperti itu
pandita palsu,..anakku ?
|
94
|
Padahal yang disebut “laku”,
sarat menjalankan ilmu sejati
tidak suka omong kosong dan tidak suka memanfaatkan hal-hal sepele yang bukan
haknya,
Tidak iri hati dan jail,
Tidak melampiaskan hawa
nafsu.
Sebaliknya, bersikap tenang
agar menggapai keheningan jiwa.
|
95
|
Luhurnya budipekerti,
pandai beradaptasi, anakku !
Demikian itulah awal mula,
tumbuhnya benih keutamaan,
Walaupun benar ilmumu,
bila ada yang mempersoalkan..
|
96
|
Walau orang yang
mempersoalkan itu, sudah diketahui ilmunya dangkal,
tetapi secara lahir kita
mengalah,
berkesanlah persuasif,
sekedar menggembirakan hati
orang lain.
Jangan sakit hati dan dendam.
|
97
|
Begitulah sarat turunnya
wahyu,
Bila teguh selamanya,
dapat bertambah anugrahnya,
dari sabda Tuhan Mahasuci,
terikat di ujung cipta,
tiada terlepas-lepas anakku.
|
98
|
Begitulah yang digariskan,
Untuk mendapat anugrah Tuhan.
Maka dari itu anakku,
sebisanya, kalian pura-pura
menjadi orang bodoh terhadap perkataan orang lain,
nyaman lahir batinnya,
yakni budi yang baik.
|
99
|
Pantas menjadi suri tauladan
yang ditiru,
Wahana agar hidup mulia,
kemuliaan jiwa raga.
Walaupun tidak persis,
seperti nenek moyang dahulu.
|
100
|
Tetapi harus giat berupaya,
sesuai kemampuan diri,
Jangan melupakan suri
tauladan,
Bila tak berbuat demikian itu
anakku,
pasti merugi sebagai manusia.
Maka lakukanlah anakku !
|