Terima kasih telah berkunjung...semoga yang tertulis dapat tersirat dalam benak kita...mari kita berbagi...

Selasa, 13 November 2012

TEMBANG KINANTHI


Serat Wedhatama terdiri dari empat pupuh yakni; pangkur, sinom, gambuh, dan  kinanthi.



83
Padahal bekal hidup,
selamanya waspada dan ingat,
Ingat akan pertanda yang ada
di alam ini,
Menjadi kekuatannya asal-usul, supaya lepas dari sengsara.
Begitulah memelihara hidup.
84
Maka rajinlah anak-anakku,
Belajar menajamkan hati,
Siang malam berusaha,
merasuk ke dalam sanubari,
melenyapkan nafsu pribadi,
Agar menjadi (manusia) utama.
85
Mengasahnya di alam sepi (semedi),
Jangan berhenti selamanya,
Apabila sudah kelihatan,
tajamnya luar biasa,
mampu mengiris gunung penghalang,
Lenyap semua penghalang budi.
86
Awas itu artinya,
tahu penghalang kehidupan,
serta kekuasaan yang tunggal,
yang bersatu siang malam,
Yang mengabulkan segala kehendak,
terhampar alam semesta.
87
Hati jangan lengah,
Waspadailah kata-katamu,
Di situ tentu terasa,
bukan ucapan pribadi,
Maka tanggungjawablah,  perhatikan semuanya sampai  tuntas.
88
Sirnakan keraguan hati,
waspadalah terhadap pandanganmu,
Itulah caranya berhasil,
Kurangilah sedikit demi sedikit godaan hawa nafsu,
Latihlah agar terlatih.
89
Jangan terbiasa berbuat aib,
Tiada guna tiada hasil,
terjerat oleh aral,
Maka berhati-hatilah,
Hidup ini banyak rintangan,
Godaan harus dicermati.
90
Seumpama orang berjalan,
Jalan berbahaya dilalui,
Apabila kurang perhitungan,
Tentulah tertusuk duri,
celakanya terantuk batu,
Akhirnya penuh luka.
91
Lumrahnya jika seperti itu,
Berobat setelah terluka,
Biarpun punya ilmu segudang,
bila tak sesuai tujuannya,
ilmunya hanya dipakai mencari nafkah dan pamrih.
92
Baru kelihatan jika keinginannya muluk-muluk,
Muluk-muluk bicaranya seperti wali,
Berkali-kali tak terbukti,
merasa diri pandita istimewa,
Kelebihannya tak ada,
Semua bukti sepi.
93
Ilmunya sebatas mulut,
Kata-katanya di gaib-gaibkan,
Dibantah sedikit saja tidak mau,
mata membelalak alisnya menjadi satu,
Apakah yang seperti itu  pandita palsu,..anakku ?
94
Padahal yang disebut “laku”,
sarat menjalankan ilmu sejati tidak suka omong kosong dan tidak suka memanfaatkan hal-hal sepele yang bukan haknya,
Tidak iri hati dan jail,
Tidak melampiaskan hawa nafsu.
Sebaliknya, bersikap tenang agar menggapai keheningan jiwa.
95
Luhurnya budipekerti,
pandai beradaptasi, anakku !
Demikian itulah awal mula,
tumbuhnya benih keutamaan,
Walaupun benar ilmumu,
bila ada yang mempersoalkan..
96
Walau orang yang mempersoalkan itu, sudah diketahui ilmunya dangkal,
tetapi secara lahir kita mengalah,
berkesanlah persuasif,
sekedar menggembirakan hati orang lain.
Jangan sakit hati dan dendam.
97
Begitulah sarat turunnya wahyu,
Bila teguh selamanya,
dapat bertambah anugrahnya,
dari sabda Tuhan Mahasuci,
terikat di ujung cipta,
tiada terlepas-lepas anakku.
98
Begitulah yang digariskan,
Untuk mendapat anugrah Tuhan.
Maka dari itu anakku,
sebisanya, kalian pura-pura menjadi orang bodoh terhadap perkataan orang lain,
nyaman lahir batinnya,
yakni budi yang baik.
99
Pantas menjadi suri tauladan yang ditiru,
Wahana agar hidup mulia,
kemuliaan jiwa raga.
Walaupun tidak persis, seperti nenek moyang dahulu.
100
Tetapi harus giat berupaya, sesuai kemampuan diri,
Jangan melupakan suri tauladan,
Bila tak berbuat demikian itu anakku,
pasti merugi sebagai manusia.
Maka lakukanlah anakku !

GAMBUH (Langkah Catur Sembah)


Serat Wedhatama terdiri dari empat pupuh yakni; pangkur, sinom, gambuh, dan  kinanthi.


GAMBUH (Langkah Catur Sembah)
48
Kelak saya bertutur,
Empat macam sembah supaya dilestarikan;
Pertama; sembah raga, kedua; sembah cipta, ketiga; sembah jiwa, dan keempat; sembah rasa, anakku !
Di situlah akan bertemu dengan
pertanda anugrah Tuhan.
49
Sembah raga adalah
Perbuatan orang yang lagi magang “olah batin”
Menyucikan diri dengan sarana air,
Yang sudah lumrah misalnya lima waktu
Sebagai rasa menghormat waktu
50
Zaman dahulu belum
pernah dikenal ajaran yang penuh tabir,
Baru kali ini ada orang menunjukkan hasil rekaan,
memamerkan ke-bisa-an nya
amalannya aneh aneh
51
Kadang seperti santri “Dul”  (gundul)
Bila tak salah, seperti santri wilayah selatan
Sepanjang Pacitan tepi pantai
Ribuan orang yang percaya.
Asal-asalan dalam berucap
52
Keburu ingin tahu,
cahaya Tuhan dikira dapat ditemukan,
Menanti-nanti besar keinginan (mendapatkan anugrah) namun gelap mata
Orang tidak paham yang demikian itu
Nalarnya sudah salah kaprah
53
Bila zaman dahulu,
Tertib teratur runtut harmonis
sariat tidak dicampur aduk dengan olah batin,
jadi tidak membuat bingung
bagi yang menyembah Tuhan
54
Sesungguhnya sariat itu
dapat disebut olah, yang bersifat ajeg dan tekun.
Anakku, hasil sariat adalah dapat menyegarkan badan
agar lebih baik,
55
badan, otot, daging, kulit dan tulang sungsumnya menjadi segar,
Mempengaruhi darah, membuat tenang di hati.
Ketenangan hati membantu
Membersihkan kekusutan batin
56
Begitulah menurut ku !
Tetapi karena orang itu berbeda-beda,
Beda pula garis nasib dari Tuhan.
Sebenarnya tidak cocok
tekad yang pada dijalankan itu
57
Namun terpaksa memberi nasehat
Karena sudah tua kewajibannya hanya memberi petuah.
Siapa tahu dapat lestari menjadi pedoman tingkah laku utama.
Barang siapa bersungguh-sungguh akan
mendapatkan anugrah kemuliaan dan kehormatan.
58
Nantinya, sembah kalbu itu
jika berkesinambungan juga menjadi olah spiritual.
Olah (spiritual) tingkat tinggi yang dimiliki Raja.
Tujuan ajaran ilmu ini;
untuk memahami yang mengasuh diri (guru sejati/pancer)
59
Bersucinya tidak menggunakan air
Hanya menahan nafsu di hati
Dimulai dari perilaku yang tertata, teliti dan hati-hati (eling dan waspada)
Teguh, sabar dan tekun,
semua menjadi watak dasar,
Teladan bagi sikap waspada.
60
Dalam penglihatan yang sejati,
Menggapai sasaran dengan tata cara yang benar.
Biarpun sederhana tatalakunya dibutuhkan konsentrasi
Sampai terbiasa mendengar suara sayup-sayup dalam keheningan
Itulah, terbukanya “alam lain”
61
Bila telah mencapai seperti itu,
Saratnya sabar segala tingkah laku.
Berhasilnya dengan cara;
Membangun kesadaran, mengheningkan cipta,  pusatkan fikiran kepada energi Tuhan.
Dengan hilangnya rasa sayup-sayup, di situlah keadilan Tuhan terjadi. (jiwa  memasuki alam gaib rahasia Tuhan)
62
Gugurnya jika menuruti kemauan jasad (nafsu)
Tidak suka dengan indahnya kehendak rasa sejati,
Jika merasakan keinginan yang tidak-tidak akan gagal.
Maka awas dan ingat lah
dengan yang membuat gagal tujuan
63
Nanti yang diajarkan
Sembah ketiga yang sebenarnya  diperuntukkan kepada Hyang sukma (jiwa).
Hayatilah dalam kehidupan sehari-hari
Usahakan agar mencapai sembah jiwa ini anakku !
64
Sungguh lebih penting, yang
disebut sebagai ujung jalan spiritual,
Tingkah laku olah batin, yakni
menjaga kesucian dengan awas dan selalu ingat akan alam nan abadi kelak.
65
Cara menjaganya dengan menguasai, mengambil, mengikat, merangkul erat tiga jagad yang dikuasai.
Jagad besar tergulung oleh jagad kecil,
Pertebal keyakinanmu anakku !
Akan kilaunya alam tersebut.
66
Tenggelamnya rasa melalui suasana “remang berkabut”,
Mendapat firasat dalam alam yang menghanyutkan,
Sebenarnya hal itu kenyataan, anakku !
Sejatinya jika tidak ingat
Sungguh tak bisa “larut”
67
Jalan keluarnya dari luyut (batas antara lahir dan batin)
Tetap sabar mengikuti “alam  yang menghanyutkan”
Asal hati-hati dan waspada yang menuntaskan tidak lain hanyalah diri pribadinya
yang tampak terlihat di situ
68
Tetapi jangan salah mengerti
Di situ ada cahaya sejati
Ialah cahaya pembimbing,
energi penghidup akal budi.
Bersinar lebih terang dan cemerlang,
tampak bagaikan bintang
69
Yaitu membukanya pintu hati
Terbukanya yang kuasa-menguasai (antara cahaya/nur dengan jiwa/roh).
Cahaya itu sudah kau (roh)  kuasai
Tapi kau (roh) juga dikuasai
oleh cahaya yang seperti bintang cemerlang.
70
Nanti ingsun ajarkan,
Beralih sembah yang ke empat.
Sembah rasa terasalah hakekat kehidupan.
Terjadinya sudah tanpa petunjuk,
hanya dengan kesentosaan batin
71
Apabila belum bisa membawa diri,
Jangan sekali-kali berani mengaku-aku,
mendapat laknat yang demikian itu anakku !
Artinya, seseorang berhak berkata apabila sudah mengetahui dengan nyata.
72
Menghayati pelajaran ini
Bila sudah hilang keragu-raguan hati.
Hanya percaya dengan sungguh-sungguh kepada takdir
itu harap diwaspadai, diingat,
dicermati bila ingin menguasai seluruhnya.
73
Melaksanakan petuah itu
Harus kokoh budipekertinya
Teguh serta sabar
tawakal lapang dada
Menerima dan ikhlas apa adanya sikapnya dapat dipercaya
Mengerti “sangkan paraning dumadi”.
74
Segala tindak tanduk
dilakukan ala kadarnya,
memberi maaf atas kesalahan sesama,
menghindari perbuatan tercela,
(dan) watak angkara yang besar.
75
Sehingga tahu baik dan buruk,
Demikian itu sebagai ketetapan hati,
Yang membuka penghalang/tabir  antara insan dan Tuhan,
Tersimpan dalam rahasia,
Terletak di dalam batin.
76
Rasa hidup itu
dengan cara manunggal dalam satu wujud,
Wujud Tuhan meliputi alam semesta,
bagaikan rasa manis dengan madu. Begitulah ungkapannya.
77
Mana manis mana madu,
apabila sudah bisa menghayati gambaran itu,
Bagaimana pengertian sabda Tuhan,
Hendaklah digenggam di dalam hati, sudah jelas dipahami secara lahir dan batin.
78
Dalam batin tak keliru,
Segala cahaya indah dicermati dalam hati,
Yang menjadi petunjuk dalam memahami hakekat Tuhan,
Selamatnya karena budi (bebuden)  yang jujur (hilang nafsu),
Agar dapat merasuk beralih “tempat”.
79
Agar usahamu berhasil,
Dapat menemukan apa yang dicari,
upayamu agar dapat melepas penghalang kegaiban,
Apabila kamu tidak paham ; lihatlah tentang bagaimana terjadinya telur.
80
Putih dan kuningnya,
bila akan mewujud (menetas),
wujud datang berganti,
tak disangka-sangka,
bila kelahirannya
dapat berganti wujud,
Kejadiannya di situ !
81
Dipastikan tidak keluar,
juga tidak masuk,
Kenyataannya yang di dalam akhirnya menjadi di luar,
Rasakan sunguh-sungguh,
Jangan sampai terlanjur tak bisa memahami.
82
Sebab apabila sudah terlanjur,
akan tak tenang sepanjang hidup, tidak ada gunanya bila kelak mati,
Menjadi orang hina yang bodoh,
dirinya sendiri malah dianggap tamu.